Sabtu, 17 Oktober 2009

Flora Dan Fauna Indonesia

Flora & Fauna
Identitas Indonesia


Indonesia merupakan negara yang memiliki sumberdaya alam hayati yang tinggi dan tersebar di seluruh pelosok tanah air. Kekayaan sumberdaya alam hayati menjadi tumpuan baru bagi pembangunan nasional selain penggunaan sumberdaya alam takterbarukan seperti minyak bumi dan gas alam.

Kemajuan pembangunan nasional terus berlanjut menuju era industrialisasi, sementara itu pemantauan mutu lingkungan memerlukan perhatian khusus sebagai dampak dari sisi lain pembangunan nasional, meskipun Indonesia telah menganut azas pemanfaatan secara lestari namun kerusakan lingkungan akibat pembangunan tidak dapat dihindarkan.

Upaya pemanfaatan kekayaan sumberdaya alam hayati tidak dapat terlepas dari UUD 1945, khususnya Pasal 33 Ayat (3) yang berbunyi "Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran Rakyat". Pengertian dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat tidak berarti pemanfaatannya dilakukan dengan semena-mena namun juga harus memperhatikan aspek-aspek keserasian, keselarasan, keseimbangan, keadilan yang merata dan berkelanjutan, baik bagi generasi masa kini maupun yang akan datang.

Pemerintah telah melakukan berbagai upaya untuk tetap menjaga keutuhan dan keberlanjutan dari sumberdaya alam hayati yang dapat terperbarukan sebagai tumpuan pembangunan saat ini, sehingga daya dukung lingkungan tetap seimbang. Ditetapkannya Undang-undang No.4 Tahun 1982 mengenai Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Undang­undang No. 5 Tahun 1990 mengenai Konservasi Sumberdaya Alam. Hayati dan Ekosistemnya serta Undang-undang No. 5 Tahun 1994 tentang Pengesahan United Nations Convention on Biological Diversity (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Keanekaragam Hayati), mencerminkan bahwa Pemerintah tidak mengabaikan keberadaan lingkungan yang tetap utuh dan seimbang sehingga tidak mengkhawatirkan bagi generasi penerusnya.

Sumberdaya alam hayati yang meliputi keanekaragaman flora dan fauna mempunyai fungsi dan manfaat sebagai unsur pembentuk lingkungan hidup yang kehadirannya tidak dapat diganti. Mengingat sifatnya yang tidak dapat diganti dan memiliki kedudukan serta berperan penting bagi kehidupan manusia, maka upaya konservasi sumberdaya alam hayati flora dan fauna menjadi kewajiban mutlak bagi setiap generasi.

Upaya-upaya konservasi tidak akan mendapatkan hasil seperti yang diharapkan tanpa dukungan dan peran serta aktif dari segenap lapisan masyarakat. Oleh karena itu salah satu upaya yang dianggap strategis dan efektif oleh Pemerintah adalah dengan menetapkan berbagai macam kekayaan sumberdaya alam hayati tersebut ke dalam bentuk Identitas Flora dan Fauna Daerah. Penetapan Identitas Flora dan Fauna Daerah merupakan upaya nyata yang dilakukan sebagai tindak lanjut dari Keputusan Presiden Nomor 4 Tahun 1993 tentang Satwa dan Bunga Nasional. Dengan ditetapkannya Flora dan Fauna Identitas Daerah Tingkat I ini dapat dilanjutkan pula dengan pemilihan Flora dan Fauna di Tingkat II, Kecamatan dan Desa. Diharapkan dengan demikian akan dapat mendorong upaya-upaya perlindungan, pengawetan, serta pemanfaatan secara berkelanjutan sumberdaya alam hayati flora dan fauna baik oleh aparat Pemerintah di Daerah maupun masyarakat secara keseluruhan sampai dengan ke Tingkat II bahkan Kecamatan dan Pedesaan.



Harimau Sumatra, subspesies harimau terkecil yang hanya ada di Indonesia

Fauna Indonesia memiliki keanekaragaman yang tinggi karena wilayahnya yang luas dan berbentuk kepulauan tropis[1]. Keanekaragaman yang tinggi ini disebabkan oleh Garis Wallace, membagi Indonesia menjadi dua area; zona zoogeografi Asia, yang dipengaruhi oleh fauna Asia, dan zona zoogeografi Australasia, dipengaruhi oleh fauna Australia[2]. Pencampuran fauna di Indonesia juga dipengaruhi oleh ekosistem yang beragam diantaranya: pantai, bukit pasir, estuari, hutan bakau, dan terumbu karang.

Masalah ekologi yang muncul di Indonesia adalah proses industrialisasi dan pertumbuhan populasi yang tinggi, yang menyebabkan prioritas pemeliharaan lingkungan menjadi terpinggirkan[3]. Keadaan ini menjadi semakin buruk akibat aktivitas pembalakan liar, yang menyebabkan berkurangnya area hutan; sedangkan masalah lain, termasuk tingginya urbanisasi, polusi udara, manajemen sampah dan sistem pengolahan limbah juga berperan dalam perusakan hutan.

Asal fauna Indonesia


Garis Wallace, membagi fauna Indonesia ke dua kategori

Asal mula fauna Indonesia sangat dipengaruhi oleh aspek geografi dan peristiwa geologi di benua Asia dan Australia[4]. Pada zaman purba, pulau Irian (New Guinea) tergabung dengan benua australia.

[sunting] Hughasiusilum

Nama dari benua Ausralia 12.000.000 tahun yang lalu untuk sebagai landasan benua Australia yang akan dibentuk dari batuan yang umurnya muda yaitu kurang dari 2 juta tahun.

Benua Australia membentuk superbenua yang dinamakan superbenua selatan Gondwana. Superbenua ini mulai terpecah 140 juta tahun yang lalu, dan daerah New Guinea (yang dikenal sebagai Sahul) bergerak menuju khatulistiwa. Akibatnya, hewan di New Guinea berpindah ke benua Australia dan demikian pula sebaliknya, menimbulkan berbagai macam spesies yang hidup di berbagai area hidup dalam ekosistem. Aktivitas ini terus berlanjut dua daerah ini benar-benar terpisah.

Di lain pihak, pengaruh benua Asia merupakan akibat dari reformasi superbenua Laurasia, yang timbul setelah pecahnya Rodinia sekitar 1 milyar tahun yang lalu. Sekitar 200 juta tahun yang lalu, superbenua Laurasia benar-benar terpisah, membentuk Laurentia (sekarang Amerika) dan Eurasia. Pada saat itu, sebagian wilayah Indonesia masih belum terpisah dari superbenua Eurasia. Akibatnya, hewan-hewan dari Eurasia dapat saling berpindah dalam wilayah kepulauan Indonesia, dan dalam ekosistem yang berbeda, terbentuklah spesies-spesies baru.

Pada abad ke-19, Alfred Russel Wallace mengusulkan ide tentang Garis Wallace, yang merupakan suatu garis imajiner yang membagi kepulauan Indonesia ke dalam dua daerah, daerah zoogeografis Asia dan daerah zoogeografis Australasia (Wallacea)[5]. Garis tersebut ditarik melalui kepulauan Melayu, diantara Kalimantan (Borneo) dan Sulawesi (Celebes); dan diantara Bali dan Lombok.[6] Walaupun jarak antara Bali dan Lombok relatif pendek, sekitar 35 kilometer, distribusi fauna di sini sangat dipengaruhi oleh garis ini. Sebagai contoh, sekelompok burung tidak akan mau menyeberang laut terbuka walaupun jaraknya pendek[6].

[sunting] Paparan Sunda


Gajah Kalimantan, subspesies Gajah Asia

Hewan-hewan di daerah paparan Sunda, yang meliputi Sumatra, Jawa, Kalimantan dan pulau-pulau kecil yang mengelilinginya, memiliki karakteristik yang menyerupai fauna di Asia. Selama zaman es, setelah Laurasia terpecah, daratan benua Asia terhubung dengan kepulauan Indonesia. Selain itu, kedalaman laut yang relatif dangkal memungkinkan hewan-hewan untuk bermigrasi ke paparan Sunda. Spesies-spesies besar seperti harimau, badak, orangutan, gajah, dan leopard ada di daerah ini, walaupun sebagian hewan ini sekarang dikategorikan terancum punah. Selat Makassar, laut antara Kalimantan dan Sulawesi, serta selat Lombok, antara Bali dan Lombok, yang menjadi pemisah dari Garis Wallace, menandakan akhir dari daerah paparan Sunda.

[sunting] Mamalia

Paparan Sunda memiliki spesies berjumlah total 381. Dari jumlah itu, 173 di antaranya merupakan spesies endemik daerah ini.[7] Sebagian besar dari spesies-spesies ini terancam keberadaannya. Dua spesies orangutan, Pongo pygmaeus (orangutan Kalimantan) dan Pongo abelii (orangutan Sumatra) termasuk dalam daftar merah IUCN. Mamalia terkenal lain, seperti kera berhidung panjang Kalimantan (Nasalis larvatus), badak Sumatra (Dicerorhinus sumatrensis), dan Badak Jawa (Rhinoceros sondaicus) juga sangat terancam jumlah populasinya.

[sunting] Burung

Menurut Konservasi International, sebanyak 771 spesies unggas terdapat di paparan Sunda. Sebanyak 146 spesies merupakan endemik daerah ini. Pulau Jawa dan Bali memiliki paling sedikit 20 spesies endemik, termasuk Jalak Bali (Leucopsar rothschildi) dan Cerek Jawa (Charadrius javanicus).

[sunting] Reptil dan Amfibia

Sebanyak 449 spesies dari 125 genus reptil diperkirakan hidup di paparan Sunda. Sebanyak 249 spesies dan 24 genus di antaranya adalah endemik. Tiga famili reptil juga merupakan endemik di wilayah ini: Anomochilidae, Xenophidiidae and Lanthanotidae. Famili Lanthanotidae diwakili oleh earless monitor (Lanthanotus borneensis), kadal coklat Kalimantan yang sangat langka dan jarang ditemui. Sekitar 242 spesies amfibia dalam 41 genus hidup di daerah ini. Sebanyak 172 spesies, termasuk Caecilian dan enam genus adalah endemik.

[sunting] Ikan

Sebanyak hampir 200 spesies baru ditemukan di daerah ini dalam sepuluh tahun terakhir. Sekitar 1000 spesies ikan diketahui hidup di dalam sungai, danau, dan rawa-rawa di paparan Sunda. Kalimantan mempunyai sekitar 430 spesies, dan sekitar 164 di antaranya diduga endemik. Sumatra memiliki 270 spesies, sebanyak 42 di antaranya endemik.[8] Ikan arwana emas (Scleropages formosus) yang cukup terkenal merupakan contoh ikan di daerah ini.

[sunting] Wallacea

Wallacea merupakan daerah transisi biogeografis antara paparan Sunda ke arah barat, dan daerah Australasian ke arah timur. Daerah ini meliputi sekitar 338.494 km² area daratan, terbagi ke dalam banyak pulau kecil. Pulau Sulawesi, Kepulauan Maluku, dan sebagian Nusa Tenggara merupakan bagian dari daerah ini. Karena faktor geografinya, daerah ini terdiri dari banyak jenis hewan endemik dan spesies fauna yang unik.

[sunting] Mamalia

Wallacea mempunyai sejumlah 223 spesies asli mamalia. Sebanyak 126 di antaranya merupakan endemik daerah ini. Sebanyak 124 spesies kelelawar bisa ditemukan di daerah ini. Sulawesi, sebagai pulau terbesar di daerah ini memiliki jumlah mamalia yang paling banyak. Sejumlah 136 spesies, 82 spesies dan seperempat genus di antaranya adalah endemik. Spesies yang luar biasa, seperti anoa (Bubalus depressicornis) dan babi rusa (Babyrousa babyrussa) hidup di pulau ini. Sedikitnya tujuh spesies kera (Macaca spp.) dan lima spesies tarsius (Tarsius spp.) juga merupakan hewan khas daerah ini.

[sunting] Burung

Sebanyak 650 spesies burung bisa ditemui di Wallacea, 265 spesies di antaranya adalah endemik. Di antara 235 genus yang ada, 26 di antaranya merupakan endemik. Sejumlah 16 genus hanya terdapat di Sulawesi dan pulau-pulau lain di sekitarnya. Kira-kira, sebanyak 356 spesies, termasuk 96 spesies burung endemik hidup di Pulau Sulawesi. Salah satunya adalah maleo (Macrocephalon maleo), jenis burung yang terancam punah dan hanya ditemukan di sekitar Wallacea.

[sunting] Reptil dan Amfibia

Dengan 222 spesies, 99 di antaranya endemik, Wallacea memiliki jenis reptil yang sangat beragam. Di antaranya adalah 118 spesies kadal yang 60 di antaranya adalah endemik; 98 spesies ular, 37 spesies di antaranya adalah endemik; lima spesies kura-kura, dua spesiesnya merupakan endemik; dan satu spesies buaya, buaya Indo-Pasifik (Crocodylus porosus). Tiga genus endemik ular yang hanya dapat ditemukan di wilayah ini: Calamorhabdium, Rabdion, dan Cyclotyphlops. Salah satu reptil yang mungkin paling terkenal di Wallacea adalah komodo (Varanus komodoensis), yang diketahui keberadaannya hanya di Pulau Komodo, Padar, Rinca, dan tepi barat Flores.

Sebanyak 58 spesies amfibia khas dapat ditemukan di Wallacea. Sebanyak 32 spesies di antaranya adalah endemik. Ini menggambarkan kombinasi elemen katak daerah Indo-Melayu dan Australasia yang mempesona.

[sunting] Ikan

Ada sekitar 310 spesies ikan tercatat dari sungai-sungai dan danau-danau Wallacea. Sebanyak 75 spesies di antaranya adalah endemik. Walaupun masih sedikit yang dapat diketahui mengenai ikan ikan dari Kepulauan Maluku dan Kepulauan Sunda Kecil, 6 spesies diketahui sebagai endemik. Di pulau Sulawesi, ada 69 spesies yang diketahui, 53 di antaranya adalah endemik. Danau Malili di Sulawesi Selatan, dengan kedalamannya yang kompleks dan arusnya yang deras memiliki paling sedikit 15 jenis ikan telmatherinid endemik, dua di antaranya mewakili genus endemik, tiga endemik Oryzia, dua endemik halfbeaks, dan tujuh endemik gobie.

[sunting] Invertebrata

Terdapat sekitar 82 spesies kupu-kupu yang ada di daerah Wallacea, 44 spesies di antaranya adalah endemik. Sejumlah 109 spesies kumbang juga terdapat di sekitar daerah wilayah ini, 79 di antaranya adalah endemik. Satu spesies yang mengagumkan dan mungkin merupakan lebah terbesar di dunia, (Chalicodoma pluto) terdapat di utara Maluku. Serangga yang hewan betinanya bisa tumbuh sampai 4 cm ini, membangun sarang secara komunal pada sarang rayap di pepohonan hutan dataran rendah.

1 komentar: